Nama Kelompok :
Mungkin kita sering mendengar adanya kasus kasus pelanggaran mengenai Hak cipta. Beberapa hal yang menjadi objek pelanggarannya bisa dalam bidang fashion , musik , film , yang berupa penjiplakan atau plagiarism dan mengklaim suatu karya yang bukan miliknya . Salah satu yang paling terkenal di Indonesia adalah pada saat beberapa contoh kekayaan budaya di Indonesia contohnya Batik , dan Reog Ponorogo yang ingin di klaim oleh negara tetangga .
- Aby Muhammad Arifin (2C214921)
- Ananda Ayu Rahmani (20214987)
- Puput Dwi Oktavia (28214552)
Kelompok : 13
Kelas : 2EB09
Mungkin kita sering mendengar adanya kasus kasus pelanggaran mengenai Hak cipta. Beberapa hal yang menjadi objek pelanggarannya bisa dalam bidang fashion , musik , film , yang berupa penjiplakan atau plagiarism dan mengklaim suatu karya yang bukan miliknya . Salah satu yang paling terkenal di Indonesia adalah pada saat beberapa contoh kekayaan budaya di Indonesia contohnya Batik , dan Reog Ponorogo yang ingin di klaim oleh negara tetangga .
Untuk mengatasi adanya pelanggaran Hak Cipta tersebut ,
pemerintah menciptakan Hukum dan undang undang yang dapat melindungi HAKI ( Hak
Atas Kekayaan Intelektual).
Karena Setiap manusia memiliki hak untuk melindungi atas karya hasil cipta,
rasa dan karsa setiap individu maupun kelompok.
Jika dilihat dari pengertiannya , HAKI
(Hak Atas Kekayaan Intelektual )
adalah hak dan kewenangan untuk
berbuat sesuatu atas kekayaan intelektual,yang di atur oleh norma-norma atau
hukum-hukum yang berlaku . Adapun Menurut UU yang telah disahkan oleh
DPR-RI pada tanggal 21 Maret 1997, HaKI adalah hak-hak secara hukum yang
berhubungan dengan permasalahan hasil penemuan dan kreativitas seseorang atau
beberapa orang yang berhubungan dengan perlindungan permasalahan reputasi dalam
bidang komersial (commercial reputation) dan tindakan / jasa dalam
bidang komersial (goodwill).
Kenyataan Dari Implementasi Perlindungan HAKI di Indonesia :
Membicarakan HaKI adalah hal yang rawan, terutama di Indonesia. Di negeri yang digelari surga bagi pembajak oleh negara-negara maju, nampaknya menegakkan HAKI adalah bagai menegakkan benang basah. Namun, itu bukannya tidak pernah dilakukan. Pertengahan 80-an, diterapkan aturan baru untuk hak cipta di bidang rekaman kaset musik (barat). Toh, sampai sekarang mekanisme itu masih bekerja, meskipun pembajakan musik bergerak ke arah yang lebih canggih, semacam CD dan Mp3.
Belum lagi kita membicarakan
pembajakan VCD dan DVD meskipun telah diterapkan aturan hak cipta di bidang ini
juga. Nyatanya, peredaran VCD dan DVD legal pun masih cukup lancar. Perbedaan
sistem distribusi antara musik dan film, yang mengharuskan film beredar minimum
6 bulan di layar bioskop sebelum diedarkan dalam bentuk video/VCD/DVD, berbeda
dengan musik yang bisa langsung dinikmati fresh from the oven, selain itu,
harga VCD/DVD asli yang masih dirasa mahal (walau sebenarnya relatif lebih
murah apabila kita bandingkan dengan CD musik), serta iklim perbioskopan
nasional yang kian lesu, membuat konsumen lari ke VCD/DVD bajakan yang lebih
aktual menyajikan film-film terbaru.
Lalu bagaimana dengan
perangkat lunak komputer? Masalah ini sampai saat ini belum terpecahkan dengan
tuntas. Bahkan, konon, pengesahan Undang-Undangnya di DPR masih terhambat,
akibat perdebatan soal penegakannya.
Sebagian (besar) anggota DPR
menyadari akibatnya jika ini diterapkan secara “ saklek”, mengingat tingkat pembajakan perangkat lunak di Indonesia
yang mencapai 89% (ketiga terbesar di dunia), maka dikhawatirkan dunia
teknologi informasi di Indonesia akan macet total, mulai dari institusi
pendidikan, instansi pemerintah dan perusahaan swasta, sampai ke individu rumah
tangga akan terkena dampaknya. Yang lebih dikhawatirkan, penerapan UU Hak Cipta
untuk perangkat lunak ini akan membawa kita kembali ke zaman kegelapan
informasi, karena hanya pihak-pihak tertentu saja yang mampu memanfaatkan
teknologi terbaru di bidang komputer, belum lagi mengingat berapa banyak orang
yang harus dihukum karena membajak.
Jika kita mencermati lisensi
yang tercantum di sebagian besar perangkat lunak yang kita gunakan sehari-hari,
definisi pembajakan sangatlah luas dan benar-benar membatasi ruang gerak kita,
walaupun kita sudah membeli perangkat lunak asli, kita tidak boleh
memperlakukannya semau kita. Kita tidak boleh memasangnya di lebih dari satu
perangkat komputer, menyewakannya (rental), membuat salinan dan meminjamkannya,
atau kalau mau lebih rumit lagi, baca saja EULA atau License Agreement yang
tercantum di setiap program yang kita instal (biasanya pada waktu instalasi pertama).
Selama ini berbagai usaha
untuk menyosialisasikan penghargaan atas Hak atas Kekayaaan Intelektual (HaKI)
telah dilakukan secara bersama-sama oleh aparat pemerintah terkait beserta
lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga swadaya masyarakat. Akan tetapi sejauh
ini upaya sosialisasi tersebut tampaknya belum cukup berhasil.
Ada beberapa alasan yang
mendasarinya. Pertama, konsep dan perlunya HaKI belum dipahami secara benar di
kalangan masyarakat. Kedua, kurang optimalnya upaya penegakan, baik oleh
pemilik HaKI itu sendiri maupun aparat penegak hukum. Ketiga, tidak adanya
kesamaan pandangan dan pengertian mengenai pentingnya perlindungan dan
penegakan HaKI di kalangan pemilik HaKI dan aparat penegak hukum, baik itu
aparat Kepolisian, Kejaksaan maupun hakim.
Globalisasi yang sangat
identik dengan free market, free competition dan transparansi memberikan dampak
yang cukup besar terhadap perlindungan HaKI di Indonesia. Situasi seperti ini
pun memberikan tantangan kepada Indonesia, di mana Indonesia diharuskan untuk dapat
memberikan perlindungan yang memadai atas HaKI sehingga terciptanya persaingan
yang sehat yang tentu saja dapat memberikan kepercayaan kepada investor untuk
berinvestasi di Indonesia.
Lebih dari itu, meningkatnya
kegiatan investasi yang sedikit banyak melibatkan proses transfer teknologi
yang dilindungi HaKI-nya akan terlaksana dengan baik, apabila terdapat
perlindungan yang memadai atas HaKI itu sendiri di Indonesia.
Mengingat hal-hal tersebut,
tanpa usaha sosialisasi di berbagai lapisan masyarakat, kesadaran akan
keberhargaan HaKI tidak akan tercipta.
Solusi yang bisa dilakukan :
Sosialisasi HaKI harus
dilakukan pada semua kalangan terkait, seperti aparat penegak hukum, pelajar,
masyarakat pemakai, para pencipta dan yang tak kalah pentingnya adalah kalangan
pers karena dengan kekuatan tinta kalangan jurnalis upaya kesadaran akan
pentingnya HAKI akan relatif lebih mudah terwujud.
Upaya sosialisasi perlu
dilakukan oleh semua stakeholder secara sistematis, terarah dan berkelanjutan.
Selain itu target audience dari kegiatan sosialisasi tersebut harus dengan
jelas teridentifikasi dalam setiap bentuk sosialisasi, seperti diskusi ilmiah
untuk kalangan akademisi, perbandingan sistem hukum dan pelaksanaannya bagi
aparat dan praktisi hukum, dan lain-lain.
Melalui perlindungan HAKI
pula, para pemilik hak berhak untuk menggunakan, memperbanyak, mengumumkan,
memberikan izin kepada pihak lain untuk memanfaatkan haknya tersebut melalui
lisensi atau pengalihan dan termasuk untuk melarang pihak lain untuk
menggunakan, memperbanyak dan/atau mengumumkan hasil karya intelektualnya
tersebut.
Dengan kata lain, HaKI memberikan hak monopoli kepada pemilik hak dengan tetap menjunjung tinggi pembatasan-pembatasan yang mungkin diberlakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan kata lain, HaKI memberikan hak monopoli kepada pemilik hak dengan tetap menjunjung tinggi pembatasan-pembatasan yang mungkin diberlakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar